Part of Entoc: Cerita dari Dickson Road
Disinilah kami berada, pada bujur dan lintang lainnya. Melewati
jajaran bangunan yang terlihat apik dan hempasan kompak lajur samudera
yang samar-samar terlihat, bersautan dengan awan diujung mata. Mimpi
yang lain yang telah diatur Tuhan atas kejadiannya, syukurku. Malam itu
saya dan seorang kawan saya, Mail, sedang duduk didepan kedai di ujung
perempatan Dickson Road, Little india, menunggu ketujuh teman lain
keluar dari hostel. Masing-masing dari kami membawa kantong plastik
berisi teh panas yang kami beli di sebuah kedai India di ujung jalan
blok yang lain. Kemasan teh itu terlihat unik. Sejenak saya pandangi
bangunan-bangunan yang berada di sepanjang jalanan itu. Ya tidak salah
lagi, ini bukan rumah saya, ini bukan Indonesia. Satu babak kemudian
pikiran saya beralih ketiga bulan lalu dimana awal perjalanan ini
terdeklarasi.
Dialah Bima, teman sekamar saya sejak dari hampir empat tahun merantau kuliah di Semarang. Bima adalah partner diskusi yang sangat cocok dengan saya. Meskipun tidak jarang timbul perbedaan diantara kami, tapi rupanya tidak berlaku untuk mimpi kami yang satu ini. Ya, kami sama-sama punya mimpi untuk bisa pergi keluar negeri dengan backpacking paling tidak sekali sebelum kami selesai kuliah. Butuh beberapa hari untuk akhirnya dia bisa menemukan tiket pesawat yang murah dari Jakarta ke Kuala Lumpur. Kami bulatkan tekad untuk pergi ke Malaysia dan Singapura. Awalnya kami memang berencana pergi berdua saja. Namun lambat laun ketujuh teman kami yang lain menginginkan untuk ikut andil dalam perjalanan ini. Saya sempat kecewa dengan keikutsertaan ketujuh teman saya itu, tapi sangat menyesallah saya jika masih merasa kecewa karena masing-masing dari mereka ternyata mewarnai perjalanan kali itu, menjadi semakin asyik, lengkap, dan tidak luput dari nilai-nilai. Mereka adalah Mail, Rio, Darun, Khanata, Dika, Fikri, dan Ahmad.
Saya adalah orang yang semangat dengan perencanaan, setidaknya berlaku untuk hal-hal yang menyenangkan bagi saya. Alhasil, saya dan slah satu kawan saya, Khanata, berusaha sebaik-baiknya merancang jadwal perjalanan kami seminggu sebelum kami berangkat. Kami ingin suatu perjalanan yang berkualitas namun juga tetap fleksibel. Destinasi atau tujuan perjalanan menjadi bagian yang sangat penting direncanakan. Selain itu, timing yang baik juga sangat mendukung kelancaran dalam perjalanan nanti. Ditengah-tengah deadline tugas laporan kerja praktek, kami menyelesaikan jadwal perjalanan tersebut, tentunya dengan bantuan Bima juga pada sentuhan finishingnya.
The day was coming. Selasa 4 Februari 2014, sekitar pukul 5 pagi pesawat kami take off dari bandara Soekarno-Hatta menuju tempat transit di Changi Airport Singapura. Dua jam lamanya kami menunggu pesawat berangkat ke bandara LCCT di Kuala Lumpur. Suasana di Changi tidak begitu ramai saat itu. Bandara ini benar-benar didesain sangat elegan, dengan karpet mewah melapisi hampir setiap lantainya, serta fasilitas ruang tunggu yang nyaman. Hal yang paling saya ingat adalah adanya spot untuk dringking water, hal kecil yang sangat dibutuhkan bagi pelancong seperti kami kala itu.
Tempat pertama yang kami tuju di Kuala Lumpur adalah KL center. Tempat yang menjadi terminal pusat kota dimana kita bisa memilih jalur MRT atau kereta monorel ke berbagai arah tujuan. Kami pergi ke daerah bukit bintang untuk mencari hostel yang sudah kami booking skitar seminggu sebelumnya. Setelah istirahat secukupnya kami lanjutkan perjalanan menuju KLCC atau yang biasa dikenal dengan Twin Tower, maskotnya negeri jiran ini. Sampai malam kami habiskan waktu disana melihat pertunjukan air mancur yang cukup indah. Ada kalanya dimana kami hanya sekedar duduk melihati orang-orang yag lewat. Ternyata selain orang melayu, negeri ini banyak dihuni pula oleh suku India dan orang-orang Chinese. Saya jadi teringat dengan penulis favorit saya ketika kawan saya Mail mengatakan kesukaannya melihat manusia kala itu. Gerakan manusia adalah wujud perbedaan yang mengandung banyak pelajaran dan nilai untuk memahami perbedaan itu sendiri dan mampu memandangnya dalam perspektif yang lebih baik. Tersimpan ilmu kehidupan yang kaya dalam setiap manusia yang berbeda.
Lain dengan negeri Jiran, Singapura terlihat lebih kental dengan kemajuannya. Dari sudut kota yang jarang kasat mata, sampai bangunan-bangunan yang memang sengaja dibangun untuk dipamerkan, seperti sudah direncanakan dan direncanakan secara apik. Memang negeri kita, Indonesia, belum semaju Singapura. Terang saja negeri kita terdiri dari beribu pulau, berlawanan dengan Singapura. Namun tidak ada salahnya bila kita mau belajar dengan sistem yang ada di negeri-negeri lain yang telah selangkah lebih didepan kita. Termasuk negeri singa duyung ini.
Setengah menit kemudian, terlihat ketujuh teman-teman yang lain melangkah keluar dari hostel kami di Dickson Road, little India, dan segera bergabung dengan Mail dan saya. Malam itu kami berencana untuk menjelajahi Marina Bay, tempat dimana patung singa duyung yang menjadi maskot Singapura berada. Tiga hari kedepan kami masih harus menitih perjalanan ini. Dari diteriaki orang dan dikatai sebagai yahudi di sebuah masjid India di Kuala Lumpur hanya gara-gara memakai celana pendek, sampai bertemu dengan orang-orang Indonesia di Singapura yang mengajari kami etika hidup di negeri orang, dan membagikan sebagian rezekinya menjadi rezeki kami, kesemua itu saya sangat hargai dan syukuri. Semoga nantinya akan ada perjalanan lain, melalui arah angin yang berbeda dalam bujur dan lintang yang berbeda pula. Pasti.
Saya termasuk orang yang percaya dengan rencana Tuhan, sekecil apapun, seremeh apapun kejadian yang menimpa kita, pasti ada hikmah yang Tuhan inginkan kita untuk bisa mengambilnya, demi kebaikan hidup kita kedepan. Apalagi jika hal yang kita inginkan untuk terjadi, ternyata telah masuk dalam daftar rencana Tuhan untuk kita. Ini sangat pantas untuk disyukuri. Dulu saya hanya bisa bermimpi untuk bisa pergi keluar negeri. Seandainya dulu saya bisa lebih yakin dengan mimpi ini, mungkin kejadiannya bisa lebih dari pada ini. Saya tidak ingin mengagungkan pengalaman ini, hanya saja rasa terima kasih saya untuk semua elemen yang mendukung pengalaman ini melanda saya. Terima kasih.
Minggu senja, 9 Februari 2014, kami kembali ke negeri kami, Indonesia ini.
by MKA, @khafidmaul
Dialah Bima, teman sekamar saya sejak dari hampir empat tahun merantau kuliah di Semarang. Bima adalah partner diskusi yang sangat cocok dengan saya. Meskipun tidak jarang timbul perbedaan diantara kami, tapi rupanya tidak berlaku untuk mimpi kami yang satu ini. Ya, kami sama-sama punya mimpi untuk bisa pergi keluar negeri dengan backpacking paling tidak sekali sebelum kami selesai kuliah. Butuh beberapa hari untuk akhirnya dia bisa menemukan tiket pesawat yang murah dari Jakarta ke Kuala Lumpur. Kami bulatkan tekad untuk pergi ke Malaysia dan Singapura. Awalnya kami memang berencana pergi berdua saja. Namun lambat laun ketujuh teman kami yang lain menginginkan untuk ikut andil dalam perjalanan ini. Saya sempat kecewa dengan keikutsertaan ketujuh teman saya itu, tapi sangat menyesallah saya jika masih merasa kecewa karena masing-masing dari mereka ternyata mewarnai perjalanan kali itu, menjadi semakin asyik, lengkap, dan tidak luput dari nilai-nilai. Mereka adalah Mail, Rio, Darun, Khanata, Dika, Fikri, dan Ahmad.
Saya adalah orang yang semangat dengan perencanaan, setidaknya berlaku untuk hal-hal yang menyenangkan bagi saya. Alhasil, saya dan slah satu kawan saya, Khanata, berusaha sebaik-baiknya merancang jadwal perjalanan kami seminggu sebelum kami berangkat. Kami ingin suatu perjalanan yang berkualitas namun juga tetap fleksibel. Destinasi atau tujuan perjalanan menjadi bagian yang sangat penting direncanakan. Selain itu, timing yang baik juga sangat mendukung kelancaran dalam perjalanan nanti. Ditengah-tengah deadline tugas laporan kerja praktek, kami menyelesaikan jadwal perjalanan tersebut, tentunya dengan bantuan Bima juga pada sentuhan finishingnya.
The day was coming. Selasa 4 Februari 2014, sekitar pukul 5 pagi pesawat kami take off dari bandara Soekarno-Hatta menuju tempat transit di Changi Airport Singapura. Dua jam lamanya kami menunggu pesawat berangkat ke bandara LCCT di Kuala Lumpur. Suasana di Changi tidak begitu ramai saat itu. Bandara ini benar-benar didesain sangat elegan, dengan karpet mewah melapisi hampir setiap lantainya, serta fasilitas ruang tunggu yang nyaman. Hal yang paling saya ingat adalah adanya spot untuk dringking water, hal kecil yang sangat dibutuhkan bagi pelancong seperti kami kala itu.
Tempat pertama yang kami tuju di Kuala Lumpur adalah KL center. Tempat yang menjadi terminal pusat kota dimana kita bisa memilih jalur MRT atau kereta monorel ke berbagai arah tujuan. Kami pergi ke daerah bukit bintang untuk mencari hostel yang sudah kami booking skitar seminggu sebelumnya. Setelah istirahat secukupnya kami lanjutkan perjalanan menuju KLCC atau yang biasa dikenal dengan Twin Tower, maskotnya negeri jiran ini. Sampai malam kami habiskan waktu disana melihat pertunjukan air mancur yang cukup indah. Ada kalanya dimana kami hanya sekedar duduk melihati orang-orang yag lewat. Ternyata selain orang melayu, negeri ini banyak dihuni pula oleh suku India dan orang-orang Chinese. Saya jadi teringat dengan penulis favorit saya ketika kawan saya Mail mengatakan kesukaannya melihat manusia kala itu. Gerakan manusia adalah wujud perbedaan yang mengandung banyak pelajaran dan nilai untuk memahami perbedaan itu sendiri dan mampu memandangnya dalam perspektif yang lebih baik. Tersimpan ilmu kehidupan yang kaya dalam setiap manusia yang berbeda.
Lain dengan negeri Jiran, Singapura terlihat lebih kental dengan kemajuannya. Dari sudut kota yang jarang kasat mata, sampai bangunan-bangunan yang memang sengaja dibangun untuk dipamerkan, seperti sudah direncanakan dan direncanakan secara apik. Memang negeri kita, Indonesia, belum semaju Singapura. Terang saja negeri kita terdiri dari beribu pulau, berlawanan dengan Singapura. Namun tidak ada salahnya bila kita mau belajar dengan sistem yang ada di negeri-negeri lain yang telah selangkah lebih didepan kita. Termasuk negeri singa duyung ini.
Setengah menit kemudian, terlihat ketujuh teman-teman yang lain melangkah keluar dari hostel kami di Dickson Road, little India, dan segera bergabung dengan Mail dan saya. Malam itu kami berencana untuk menjelajahi Marina Bay, tempat dimana patung singa duyung yang menjadi maskot Singapura berada. Tiga hari kedepan kami masih harus menitih perjalanan ini. Dari diteriaki orang dan dikatai sebagai yahudi di sebuah masjid India di Kuala Lumpur hanya gara-gara memakai celana pendek, sampai bertemu dengan orang-orang Indonesia di Singapura yang mengajari kami etika hidup di negeri orang, dan membagikan sebagian rezekinya menjadi rezeki kami, kesemua itu saya sangat hargai dan syukuri. Semoga nantinya akan ada perjalanan lain, melalui arah angin yang berbeda dalam bujur dan lintang yang berbeda pula. Pasti.
Saya termasuk orang yang percaya dengan rencana Tuhan, sekecil apapun, seremeh apapun kejadian yang menimpa kita, pasti ada hikmah yang Tuhan inginkan kita untuk bisa mengambilnya, demi kebaikan hidup kita kedepan. Apalagi jika hal yang kita inginkan untuk terjadi, ternyata telah masuk dalam daftar rencana Tuhan untuk kita. Ini sangat pantas untuk disyukuri. Dulu saya hanya bisa bermimpi untuk bisa pergi keluar negeri. Seandainya dulu saya bisa lebih yakin dengan mimpi ini, mungkin kejadiannya bisa lebih dari pada ini. Saya tidak ingin mengagungkan pengalaman ini, hanya saja rasa terima kasih saya untuk semua elemen yang mendukung pengalaman ini melanda saya. Terima kasih.
Minggu senja, 9 Februari 2014, kami kembali ke negeri kami, Indonesia ini.
by MKA, @khafidmaul
0 komentar: